Danbertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Al-Maidah: 2). Hadis-Hadis Nabi; Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya. (Muslim dari Abu Hurairah).
Segalapuji bagi Allah atas karunia-Nya sehingga aplikasi ini dapat dibuat. Aplikasi ini bertujuan untuk membantu atau menolong sesama umat Islam untuk memurojaah ilmu dasar agama Islam. ”Dan tolong-menolong lah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan." [al-Mâidah/5:2]. “Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya.” (HR.
Barangsiapamenutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebtu menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699) Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebtu menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699) Read more. FAQ. Top Questions.
Artinya “Diriwayatkan dari Hamam ibn Munabbih, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman.” [HR. al-Bukhari] Jika orang yang berhutang sampai meninggal dunia belum melunasi hutangnya, dan ia
Bencanaerupsi belum berakhir, gempa bumi di Kebumen mengagetkan semua pihak. Saat masyarakat mulai bernafas lega, tiba-tiba gunung Kelud meletus dan dampak bencananya dirasakan oleh ratusan ribu jiwa. Bencana alam yang silih-berganti melanda bangsa kita merupakan sebuah peringatan Allah bagi kita yang terlalu banyak dosa.
2 Menolong Saudara Ditolong Allah. "وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ". Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama si hamba selalu menolong saudaranya. Lihat juga: Tega, Diam-Diam Wanita Ini Dinikahkan Paksa Oleh Pamannya.
Allahsenantiasa menolong hambaNya, selama hambaNya suka menolong saudaranya (HR. Muslim) 04 Aug 2022
DanAllah senantiasa membantu seorang hamba selama hamba tersebut senantiasa membantu saudaranya” (HR Muslim). Bunga-bunga kasih kepedulian kaum Muslimin sangat dibutuhkan untuk membantu pengobatan Nasha, demi perkembangan generasi umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Barangsiapamemberi kemudahan kepada orang yang kesulitan niscaya Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai
Allâhsenantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allâh (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka,
Weekly Poster - "Commitment towards brothers and sisters in Islam" “Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya.” (H.R. Muslim) Dibagikan oleh amirah nabilla Bergabung sekarang untuk melihat semua aktivitas
Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya.” (HR Muslim no. 2699) Selain itu, dalam kitab Al ‘Athiyyatul Haniyyah yang berbunyi : “Barang siapa yang membahagiakan orang mukmin lain, Allah Ta’ala menciptakan 70.000 malaikat yang ditugaskan memintakan ampunan baginya sampai hari kiamat sebab ia telah membahagiakan
Allahsenantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu mau menolong maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu mau menolong saudaranya." (HR. Muslim ) “Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu
Dania menyadari terdapat hak Allah pada hartanya. Maka inilah kedudukan hamba yang paling baik.” (HR. Tirmidzi). Allah Akan Menolong Seorang Hamba, Selama Hamba Itu Senantiasa Menolong Saudaranya. (HR.Muslim) DOMPET AMANAH UMAT. Dompet Amanah Umat (DAU) adalah lembaga peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terdepan dan terpercaya
BeraniBerbuat. Memenuhi kebutuhan pasangan, menyokong, dan membangun sikap berani adalah tuntutan syariat, khususnya saat kondisi lemah, butuh, sakit ringan maupun menahun, hendaknya itu semua ia niatkan karena Allah ta’ala. Suami istri sangat butuh untuk membangun prinsip ini baik terhadap pasangan, anak-anak, keluarga pihak suami atau
fQyHAgN. Rajin menolong, ringan tangan, yuk kaji hadits Arbain berikut ini. Hadits Al-Arbain An-Nawawiyah 36 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ القِيَامَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. وَاللهُ في عَوْنِ العَبْدِ مَا كَانَ العَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الجَنَّةِ. وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بهِ نَسَبُهُ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ بِهَذَا اللَّفْظِ. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia orang mukmin, maka Allah akan menghilangkan kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barangsiapa yang memberi kemudahan orang yang kesulitan utang, maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Siapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat. Siapa saja yang menolong saudaranya, maka Allah akan menolongnya sebagaimana ia menolong saudaraya. Barangsiapa yang menempuh perjalanan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah berkumpul sekelompok orang di salah satu rumah Allah masjid untuk membaca Kitabullah dan saling mempelajarinya di antara mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, rahmat meliputinya, para malaikat mengelilinginya, dan Allah menyanjung namanya kepada Malaikat yang ada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan bisa dikejar oleh nasabnya garis keturunannya yang mulia.” HR. Muslim dengan lafal ini [HR. Muslim, no. 2699] Keterangan hadits – man naffasa siapa yang melapangkan – kurbah kesusahan, kesempitan – yassara memudahkan – ala mu’sir pada yang memiliki kesulitan sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ “Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” QS. Al-Baqarah 280 – wa man sataro musliman menutup aib seorang muslim, yaitu menutup aib berkaitan dengan muruah kesopanan, aib dalam agama dan amal. – yassarallahu alaihi fid dunyaa wal aakhirah maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Ini mencakup kemudahan dalam hal harta, kemudahan dalam beramal, kemudahan dalam pengajaran, dan lainnya. Kemudahan yang jadi balasan adalah kemudahan dalam hal apa pun.” Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 385 – wallahu fii aunil abdi maa kaanal abdu fii auni akhihii Siapa saja yang menolong saudaranya, maka Allah akan menolongnya sebagaimana ia menolong saudaranya sebelumnya. Hadits ini tidaklah diterjemahkan, “Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya”. Kata selamanya di sini tidak tepat–menurut Syaikh Ibnu Utsaimin–. Pengertian itu berarti Allah tidak menolong hamba ketika ia tidak menolong saudaranya. Dengan kata lain akan dipahami, pertolongan Allah itu tergantung pada menolong saudaranya. Dengan terjemahan yang salah seperti ini, nanti akan dipahami bahwa pertolongan Allah itu sama dengan pertolongan seseorang pada saudaranya. – wa man salaka thariqan ia memasuki ilmu dan berjalan di dalamnya. – yaltamisu fiihi ilman mencari ilmu. Yang dimaksud mencari ilmu di sini adalah ilmu syari. Adapun ilmu dunia seperti ilmu teknik, tidaklah masuk dalam hadits ini. – sahhalallahu lahu thariqan ilal jannnah ia akan dimudahkan oleh Allah pada jalan menuju surga. Allah memberinya hidayah taufik pada jalan menuju surga. – buyutillah masjid, sebagaimana firman Allah Ta’ala, فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ , رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingati Allah, dan dari mendirikan sembahyang, dan dari membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang di hari itu hati dan penglihatan menjadi goncang.” QS. An-Nuur 36-37 – yatluuna kitaaballah membaca kitabullah, yakni membacanya secara lafaz dan makna, termasuk juga mempelajari makna Al-Qur’an. – wa yatadaarosuuna lahu baynahum belajar Al-Qur’an antara satu dan lainnya. Mereka yang berkumpul di masjid dan saling mempelajari Al-Qur’an, maka akan mendapatkan Mendapatkan sakinah, yaitu ketenangan hati dan lapangnya dada. Mendapatkan rahmat dari Allah. Dikelilingi malaikat. Allah menyebut mereka di sisi malaikat yang lebih mulia. – wa man batthoa bihi amaluh, lam yusri’ bihi nasabuh siapa yang menunda amalan, malas beramal, maka garis keturunannya tidaklah manfaat. Karena yang paling mulia adalah yang paling bertakwa sebagaimana disebutkan dalam ayat, إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” QS. Al-Hujurat 13 Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” HR. Muslim, no. 2699 Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata bahwa menempuh jalan dalam menuntut ilmu ada dua makna Menempuh jalan secara hakiki yaitu dengan berjalan menuju majelis ilmu para ulama. Menempuh jalan secara maknawi yaitu dengan menempuh cara bisa diraihnya ilmu, seperti dengan menghafalkan, mempelajari, mudzakarah saling mengingatkan, muthala’ah mengkaji, menulis atau berusaha memahami ilmu. Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, 2297 Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang berjalan, bersepeda atau berkendaraan menuju majelis ilmu, sudah termasuk dalam balasan hadits di atas. Begitu pula yang begadang dalam menghafal, menulis atau menelaah, itu juga termasuk bagian dari pahala di atas. Bahkan semakin besar kesulitan yang diderita, semakin besar pula pahala yang diperoleh. Semakin Sulit, Semakin Besar Pahala Dalam kaedah yang dibawakan oleh As-Suyuthi rahimahullah dalam Al-Asybah wa An-Nazhair hlm. 320 disebutkan, مَا كَانَ أَكْثَرُ فِعْلاً كَانَ أَكْثَرُ فَضْلاً “Amalan yang lebih banyak pengorbanan, lebih banyak keutamaan.” Dasar kaedah di atas disimpulkan dari hadits Aisyah radhiyallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallambersabda, وَلَكِنَّهَا عَلَى قَدْرِ نَصَبِكِ “Akan tetapi, pahalanya tergantung pada usaha yang dikorbankan.” HR. Muslim, no. 1211. Demikian dikatakan oleh As-Suyuthi ketika menyebutkan kaedah di atas dalam Al-Asybah wa An-Nazhair hlm. 320. Imam Az-Zarkasi berkata dalam Al-Mantsur, العَمَلُ كُلَّمَا كَثُرَ وَشَقَّ كَانَ أَفْضَلُ مِمَّا لَيْسَ كَذَلِكَ “Amalan yang semakin banyak dan sulit, lebih afdhal daripada amalan yang tidak seperti itu.” Semakin kita menemui kesulitan dalam mempelajari agama, pahalanya semakin besar. Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga, ada empat makna sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali. Pertama Dengan menempuh jalan mencari ilmu, Allah akan memudahkannya masuk surga. Kedua Menuntut ilmu adalah sebab seseorang mendapatkan hidayah. Hidayah inilah yang mengantarkan seseorang kepada surga. Ketiga Menuntut suatu ilmu akan mengantarkan kepada ilmu lainnya yang dengan ilmu tersebut akan mengantarkan kepada surga. Sebagaimana kata sebagian ulama kala suatu ilmu diamalkan, مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ أَوْرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ “Siapa yang mengamalkan suatu ilmu yang telah ia ilmui, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang tidak ia ketahui.” Sebagaimana kata ulama lainnya, ثَوَابُ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا “Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.” Begitu juga dalam ayat disebutkan, وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى “Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” QS. Maryam 76 Juga pada firman Allah, وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآَتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ “Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya.” QS. Muhammad 17 Keempat Dengan ilmu, Allah akan memudahkan jalan yang nyata menuju surga yaitu saat melewati shirath titian yang terbentang di atas neraka menuju surga, pen.. Sampai-sampai Ibnu Rajab menyimpulkan, menuntut ilmu adalah jalan paling ringkas menuju surga. Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, 2297-298 Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, “Seharusnya setiap penuntut ilmu berusaha untuk meraih manfaat dari ilmu diin. Karena ilmu itu akan mengantarkan kepada Allah dan mempelajari ilmu adalah jalan yang paling singkat menghadap-Nya. Siapa yang menempuh jalan dalam menuntut ilmu dan tidak berhenti dalam mencari ilmu, maka ia akan diantarkan kepada Allah dan dimudahkan masuk surga. Menuntut ilmulah jalan paling ringkas untuk masuk surga. Menuntut ilmu juga adalah jalan yang paling mudah untuk masuk surga. Ilmu ini akan menuntun pada berbagai jalan di dunia dan di akhirat untuk bisa masuk dalam surga. Ingatlah, tidak ada jalan untuk mengenal Allah, untuk menggapai ridha-Nya, untuk makin dekat dengan-Nya, melainkan melalui ilmu bermanfaat yang dengan sebab ilmu itu para rasul diutus oleh Allah, dan sebab Allah menurunkan kitab. Ilmu itulah penuntun dan pemberi petunjuk ketika seseorang berada dalam gelap kebodohan, syubhat pemikiran sesat dan keragu-raguan. Oleh karena itu, Al-Qur’an disebut cahaya karena dapat menerangi jalan di saat gelap. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ ,يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak pula yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” QS. Al-Maidah 15-16 Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, 2297-298 Faedah hadits Keutamaan tiga hal naffasa, yassara, sataro melapangkan, memudahkan, menutup aib. Hari kiamat terdapat kesulitan yang luar biasa. Menutup aib seorang muslim itu dirinci – Bisa jadi menutupinya itu baik jika yang ditutupi adalah aib dari seseorang yang agamanya baik. Ia melakukan kesalahan lantas menyesalinya, maka menutupi aibnya itu terpuji dan baik. – Bisa jadi menutupinya itu jelek jika yang ditutupi adalah aib dari orang yang gemar bermaksiat atau ia berbuat zalim pada yang lain dan akan terus membuatnya semakin rusak. Menutupi aib dalam kondisi seperti ini tercela. Aibnya bisa saja diungkap dan diberitahukan pada orang yang bisa mendidiknya. Misalnya, yang punya aib adalah seorang istri, berarti dilaporkan pada suaminya. Misal lainnya, yang punya aib adalah seorang anak, berarti dilaporkan pada bapaknya. Atau contoh lainnya, yang melakukan aib adalah seorang gurum ia dilaporkan pada kepala sekolah. – Bisa jadi menutupinya tidak diketahui baik ataukah jelek, kondisi seperti ini menutupinya lebih baik. Kaedah yang berlaku dalam hal ini adalah hadits Aisyah, فَإِنَّ الإِمَامَ أَنْ يُخْطِئَ فِى الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِى الْعُقُوبَةِ. “Jika imam itu salah dalam memberikan maaf, itu lebih baik, daripada ia salah dalam memberikan hukuman.” HR. Tirmidzi, no. 1424 dan Al-Baihaqi, 8238. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini dhaif. Namun, makna hadits ini benar adanya sehingga dipakai sebagai kaedah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin sebagaimana dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hlm. 390-391. Menolong orang lain adalah jalan mendapatkan pertolongan Allah. Namun, kalau menolong dalam dosa, berarti dihukumi haram. Keutamaan menuntut ilmu syari, menuntut ilmu adalah jalan mudah menuju surga. Hendaklah bersegera dalam mencari ilmu dengan kesungguhan dan kerja keras karena semua orang ingin masuk surga dengan cara yang paling ringkas. Kalau menuntut ilmu adalah jalan ringkas menuju surga, kita harus sungguh-sungguh menempuhnya. Keutamaan majelis dzikir majelis ilmu yang berada di rumah Allah masjid dan keutamaan saling mengkaji Al-Qur’an yaitu mendapatkan ketenangan, dinaungi rahmat, dikelilingi malaikat, dan disanjung oleh Allah di hadapan makhluk-Nya yang lebih mulia. Membaca Al-Qur’an dengan berkumpul itu ada tiga bentuk – Membaca bersama-sama dengan satu suara, kalau dalam rangka pengajaran, tidaklah masalah. Seperti pengajar membaca ayat, lalu murid-muridnya mengikuti dan membaca bersama-sama. – Membaca Al-Qur’an dengan cara yang satu membaca dan yang lainnya diam, kemudian saling bergiliran untuk membaca, seperti ini tidaklah masalah. – Membaca Al-Qur’an dengan cara masing-masing membaca untuk dirinya, yang lain tidak menyimak atau memerhatikan, seperti ini yang kita lihat di masjid-masjid. Sebaik-baik tempat adalah masjid. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, أَحَبُّ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِلاَدِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا. “Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid dan tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar.” HR. Muslim, no. 671, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu Nasab tidaklah bermanfaat di akhirat. Karena kita dinilai dengan amalan, bukan dengan nasab. Janganlah seseorang tertipu dengan nasabnya yang mulia. Keutamaan bersaudara dalam Islam. Kaedah dari hadits Al-jazaa’ min jinsil amal, balasan tergantung amal perbuatan. At-tafaadhul bil a’maal laa bil ansaab wal ahsaab, keutamaan seseorang dilihat dari amal, bukan dari nasab dan kedudukan. Baca pembahasan selanjutnya Hadits Arbain 37 Berniat Baik dan Jelek, Namun Tidak Terlaksana Referensi Jaami’Al-Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh Abdullah Al-Farih. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya. Darush Sholihin, saat menjelang Ashar, 17 April 2020 23 Syakban 1441 H Oleh Muhammad Abduh Tuasikal Artikel
Beranda / Arsip Berita / KHAZANAH / HADITS Allah Senantiasa Menolong Seorang Hamba Selama Hamba Itu Menolong Saudaranya August 10, 2016 KHAZANAH 62,515 Kali dilihat Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, وَ اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ “Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya”. [HR Muslim 2699, at-Turmudziy 1930, 1425, 2945, Abu Dawud 4946, Ibnu Majah 225 dan Ahmad II/ 252, 296, 500, 514. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih] Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Pemberian pertolongan seorang hamba terhadap saudaranya itu dapat menyebabkan pertolongan Allah kepada hamba tersebut”. Berkata asy-Syaikh Muhammad bi Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Bahwa Allah ta’ala menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya. Di dalam hadits ini terdapat motivasi untuk menolong saudaranya dari kaum muslimin di dalam segala yang perkara yang mereka butuh pertolongan. Sehingga dalam perkara mendahulukan kedua sandal bagi saudaranya tersebut, mempersilahkannya untuk naik kendaraan dan mendekatkan permadaninya untuknya dan selainnya. Namun motivasi menolong saudaramu yang muslim itu terikat dengan perbuatan baik dan ketakwaaan. Hal ini karena firman Allah ta’ala Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa. QS al-Maidah/ 5 2. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan al-Turmudzi dengan redaksi yang sama. Jika ingin mendapat pertolongan Allah, maka mesti senantiasa menolong sesama manusia. Allah SWT senantiasa menolong orang yang selalu memberikan pertolongan. Dalam hadits riwayat al-Hakim diterangkan bahwa Rasul SAW pernah ditanya tentang amal yang utama. Di antara amal yang paling utama adalah 1 menolong sesama, 2 membahagiakan orang yang bersedih, dan 3 mengantar teman yang sedang kebingungan mencari jalan. Bahkan beliau menandaskan “Seseorang yang pergi dengan temannya untuk membantu mengatasi masalah atau suatu keperluan, itu lebih utama dibanding dengan I’tikaf di Masjid ku ini sambil berisyarat dengan jari ke Masjid Nabawi, selama dua bulan.” HR. al-Hakim Baca Juga Pengajian Akbar Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah YPSA – Pengajian Tabligh Akbar YPSA dilaksanakan di Pelataran Masjid Shafiyyatul Amaliyyah bersama Ustadz Qosim …
Bantulah Orang Lain, Allah Akan Membantu Anda!Begitu kira-kira kandungan hadits shahih berikut ini, yang berisi konsep tolong-menolong ta'awun dalam Islam."Barangsiapa yang membantu menghilangkan satu kesedihan kesusahan dari sebagian banyak kesusahan orang mukmin ketika didunia maka Allah akan menghilangkan satu kesusahan kesedihan dari sekian banyak kesusahan dirinya pada hari kiamat kelak. Dan barangsiapa yang memberikan kemudahan membantu kepada orang yang kesusahan, niscaya Allah akan membantu memudahkan urusannya didunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang menutup aib orang muslim , niscaya Allah akan menutup aibnya dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah akan selalu menolong seorang hamba selama dia gemar menolong saudaranya" HR. Muslim.Membantu orang lain, dengan demikian, hakikatnya adalah membantu diri sendiri, yaitu mengundang datangnya bantuan/pertolongan Allah Saw menegaskan, orang yang membantu orang lain yang sedang dalam kesusahan, maka akan mendapatkan bantuan Allah di hari akhirat yang membantu orang yang kesusahan, akan dibantu Allah dalam mengatasi urusannya di dunia dan di pun akan menutup aib keburukan seseorang yang menutup aib orang di atas ditutup dengan penegasanاللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ "Allah SWT akan membantu hamba-Nya selama si hamba suka membantu orang lain."Menurut Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy, pemberian pertolongan seorang hamba terhadap saudaranya itu dapat menyebabkan pertolongan Allah kepada hamba Syaikh Muhammad bi Shalih al-Utsaimin, Allah ta’ala menolong seorang hamba selama hamba itu menolong dalam hadits ini terdapat motivasi untuk menolong saudaranya dari kaum Muslimin di dalam segala yang perkara yang mereka butuh dalam Islam harus dalam perbuatan baik dan ketakwaaan. Dilarang saling tolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.“Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” QS. Al-Maidah 5 2Demikian prinsip tolong-menolong dalam Islam. Wallahu a'lam.
MEMBANTU KESULITAN SESAMA MUSLIM DAN MENUNTUT ILMU JALAN MENUJU SURGAOleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه اللهعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَمَنْ سَتَـرَ مُسْلِمًـا ، سَتَـرَهُ اللهُ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَاللهُ فِـي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًـا ، سَهَّـلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَـى الْـجَنَّةِ ، وَمَا اجْتَمَعَ قَـوْمٌ فِـي بَـيْتٍ مِنْ بُـيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ ، وَيَتَدَارَسُونَـهُ بَيْنَهُمْ ، إِلَّا نَـزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ ، وَغَشِـيَـتْـهُمُ الرَّحْـمَةُ ، وَحَفَّـتْـهُمُ الْـمَلاَئِكَةُ ، وَذَكَـرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ ، وَمَنْ بَطَّـأَ بِـهِ عَمَلُـهُ ، لَـمْ يُسْرِعْ بِـهِ نَـسَبُـهُDari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan orang yang kesulitan dalam masalah hutang, maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya dari kesulitan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allâh akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allâh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allâh akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allâh masjid untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman akan turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya dalam meraih derajat yang tinggi-red, maka garis keturunannya tidak bisa mempercepatnya.”TAKHRIJ HADITS Hadits ini shahih. Diriwayatkan olehMuslim no. 2699.Ahmad II/252, 325.Abu Dâwud no. 3643.Tirmidzi no. 1425, 2646, 2945.Ibnu Mâjah no. 225.Ad-Dârimi I/99.Ibnu Hibbân no. 78- Mawâriduzh Zham-ân.Ath-Thayâlisi no. 2439.Al-Hâkim I/88-89.Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 127.Ibnu Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayânil Ilmi wa Fadhlihi I/63, no. 44.Dalam riwayat lain, Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ ، وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ ، كَانَ اللهُ فِيْ حَاجَتِهِ ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ ، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًـا ، سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ Muslim adalah saudara orang Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzhaliminya dan tidak boleh membiarkannya diganggu orang lain bahkan ia wajib menolong dan membelanya[1]. Barangsiapa membantu kebutuhan saudaranya, maka Allâh Azza wa Jalla senantiasa akan menolongnya. Barangsiapa melapangkan kesulitan orang Muslim, maka Allâh akan melapangkan baginya dari salah satu kesempitan di hari Kiamat dan barangsiapa menutupi aib orang Muslim, maka Allâh menutupi aibnya pada hari Kiamat.[2]SYARAH HADITS 1. Sabda Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam yang maknanya, “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat.” Karena balasan itu sesuai dengan jenis perbuatan. Hadits-hadits tentang masalah ini banyak sekali, misalnya sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,وَإِنَّـمَـا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَSesungguhnya Allâh menyayangi hamba-hamba-Nya yang penyayang[3]Al–Kurbah kesempitan ialah beban berat yang mengakibatkan seseorang sangat menderita dan sedih. Meringankan at-tanfîs maksudnya berupaya meringankan beban tersebut dari penderita. Sedangkan at-tafrîj upaya melepaskan dengan cara menghilangkan beban penderitaan dari penderita sehingga kesedihan dan kesusahannya sirna. Balasan bagi yang meringankan beban orang lain ialah Allâh akan meringankan kesulitannya. Dan balasan menghilangkan kesulitan adalah Allâh akan menghilangkan kesulitannya.[4]Seorang Muslim hendaknya berupaya untuk membantu Muslim lainnya. Membantu bisa dengan ilmu, harta, bimbingan, nasehat, saran yang baik, dengan tenaga dan Muslim hendaknya berupaya menghilangkan kesulitan atau penderitaan Muslim lainnya. Bila seorang Muslim membantu Muslim lainnya dengan ikhlas, maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan balasan terbaik yaitu dilepaskan dari kesulitan terbesar dan terberat yaitu kesulitan pada hari Kiamat. Oleh karena itu, seorang Muslim mestinya tidak bosan membantu sesama Muslim. Semoga Allâh Azza wa Jalla akan menghilangkan kesulitan kita pada hari Sabda Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam , yang artinya “Dari salah satu kesusahan hari Kiamat.”Kenapa Beliau Shallallahu alaihi wa sallam tidak bersabda, “Dari salah satu kesempitan dunia dan akhirat,” seperti yang beliau Shallallahu alaihi wa sallam sabdakan dalam balasan memudahkan urusan dan menutup aib ? Ada yang mengatakan bahwa kurab kesulitan-kesulitan yang merupakan kesulitan luar biasa itu tidak menimpa semua manusia di dunia, berbeda dengan kesulitan dan aib yang perlu ditutup, hampir tidak ada seorangpun yang luput. Ada lagi yang mengatakan bahwa kesulitan dunia tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kesulitan akhirat. Karenanya, Allâh Azza wa Jalla menyimpan pahala orang yang meringankan beban orang lain ini untuk meringankan kesulitannya pada hari Kiamat.[5] Ini diperkuat dengan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam …يَـجْمَعُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْأَوَّلِيْنَ وَالْآخِرِيْنَ فِـيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ ، فَيُسْمِعُهُمُ الدَّاعِي ، وَيَنْفُذُهُمُ الْبَصَرُ ، وَتَدْنُو الشَّمْسُ مِنْهُمْ ، فَيَبْلُغُ النَّاسَ مِنَ الْغَمِّ وَالْكَرْبِ مَالاَ يُطِيْقُوْنَ ، وَمَالاَ يَحْتَمِلُوْنَ. فَيَقُوْلُ بَعْضُ النَّاسِ لِبَعْضٍ أَلاَتَرَوْنَ مَا أَنْتُمْ فِيْهِ ؟ أَلاَتَرَوْنَ مَاقَدْ بَلَغَكُمْ ؟ أَلاَتَنْظُرُوْنَ مَنْ يَشْفَعُ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ ؟…“…Allah mengumpulkan manusia dari generasi pertama hingga generasi terakhir pada satu tempat kemudian penyeru memperdengarkan suara kepada mereka, penglihatan[6] dapat meliputi mereka, matahari mendekat ke mereka, dan manusia menanggung kesedihan dan kesempitan yang tidak mampu lagi mereka tahan dan tanggung. Sebagian manusia berkata kepada sebagian lainnya, Tidakkah kalian lihat apa yang terjadi pada kalian? Kenapa kalian tidak melihat orang yang bisa meminta syafa’at untuk kalian kepada Rabb kalian…’” dan seterusnya.[7]Dari Aisyah Radhiyallahu anha dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , beliau bersabda,تُحْشَرُوْنَ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلًا. قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ ، الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ ؟ قَالَ اَلْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يُهِمَّهُمْ ذَاكَKalian akan dikumpulkan pada hari Kiamat dalam keadaan telanjang kaki, telanjang tidak berpakaian dan tidak berkhitan.” Aisyah berkata, “Wahai Rasûlullâh! Orang laki-laki dan perempuan akan saling melihat aurat yang lain?” Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Perkaranya lebih dahsyat daripada apa yang mereka inginkan.”[8]Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “ Yaitu pada hari ketika semua orang bangkit menghadap Rabb seluruh alam.” Al-Muthaffifiin/836, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,يَقُوْمُ أَحَدُهُمْ فِـي رَشْحِهِ إِلَـى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِSalah seorang dari mereka berdiri sementara keringatnya sampai separoh kedua telinganya.[9]Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda يَعْرَقُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُمْ فِـي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ ذِرَاعًا ، وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْPada hari Kiamat, manusia berkeringat hingga keringat mereka mengalir di bumi sampai tujuh puluh hasta dan mengalir hingga sampai di telinga merekaDalam lafazh Muslim,إِنَّ الْعَرَقَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيَذْهَبُ فِي الْأَرْضِ سَبْعِيْنَ بَاعًا ، وَإِنَّهُ لَيَبْلُغُ إِلَى أَفْوَاهِ النَّاسِ ، أَوْ إِلَى آذَانِهِمْSesungguhnya keringat manusia pada hari Kiamat kelak akan mengalir di bumi sampai tujuh puluh depa atau hasta dan dengan ketinggian mencapai mulut atau telinga mereka.[10]Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ أُدْنِيَتِ الشَّمْسُ مِنَ الْعِبَادِ حَتَّى تَكُوْنَ قِيْدَ مِيْلٍ أَوِ اثْنَيْنِ ، فَتَصْهَرُهُمُ الشَّمْسُ ، فَيَكُوْنُوْنَ فِـي الْعَرَقِ بِقَدْرِ أَعْمَالِهِمْ ؛ فَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَـى عَقِبَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى حِقْوَيْهِ ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ hari Kiamat telah tiba, matahari didekatkan kepada hamba-hamba hingga sebatas satu atau dua mil. Kemudian panas matahari membuat mereka berkeringat lalu mereka terendam dalam keringat sesuai dengan perbuatan mereka. Diantara mereka ada yang terendam hingga kedua tumitnya, ada yang terendam hingga kedua lutut, ada yang terendam hingga pinggangnya, dan di antara mereka ada yang terendam sampai ke mulutnya hingga ia tidak bisa bicara.[11]3. Sabda Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam , yang maknanya, “Barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang kesulitan maka Allâh Azza wa Jalla memberi kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat.”Ini menunjukkan bahwa pada hari kiamat ada kesulitan. Bahkan Allâh Azza wa Jalla menyebutkan hari kiamat sebagai hari yang sulit bagi orang-orang kafir. Allâh Azza wa Jalla berfirman وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا… Dan itulah hari yang sulit bagi orang-orang kafir. [al-Furqân/2526]Memberi kemudahan kepada yang kesulitan dalam utang ganjarannya besar. Ini dapat dilakukan dengan dua cara Pertama, memberikan tempo dan kelonggaran waktu sampai ia berkecukupan dan mampu membayar utang. Ini hukumnya wajib, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan jika orang berutang itu dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih bagimu, jika kamu mengetahui.” [al-Baqarah/2280]Kedua, dengan membebaskan hutangnya jika ia sudah tidak mampu lagi membayar perbuatan ini memiliki keutamaan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ تَـجَاوَزُوْا عَنْهُ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا ، فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُDahulu ada seorang pedagang yang selalu memberikan pinjaman kepada manusia. Jika ia melihat orang itu kesulitan membayar hutangnya, ia berkata kepada anak-anaknya, Bebaskanlah hutangnya, mudah-mudahan Allâh memaafkan kita dari dosa-dosa,’ maka Allâh pun memaafkannya.[12]Dari Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُـنْجِيَهُ اللهُ مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ؛ فَلْيُنَفِّسْ عَنْ مُعْسِرٍ أَوْ يَضَعْ عَنْهُSiapa ingin diselamatkan oleh Allâh dari kesulitan-kesulitan hari Kiamat, hendaklah ia meringankan orang yang kesulitan hutang atau membebaskan hutangnya.[13]Dari Abu Yasar Radhiyallahu anhu , Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ ، أَظَلَّهُ اللهُ فِـيْ ظِلِّهِBarangsiapa memberi kelonggaran waktu kepada orang yang kesulitan membayar hutang atau menghapus hutangnya, maka Allâh akan menaunginya dalam naungan-Nya[14]4. Sabda Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam , yang artinya, “Dan barangsiapa menutupi aib seorang Muslim maka Allâh Azza wa Jalla menutupnya di dunia dan akhirat.”Banyak nash-nash yang semakna dengan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ini. Diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf, ia berkata, “Aku pernah berjumpa dengan kaum yang tidak memiliki aib kemudian mereka menyebutkan aib-aib orang lain, akhirnya manusia menyebut aib-aib kaum ini. Aku juga pernah bertemu kaum yang mempunyai sejumlah aib namun mereka menjaga aib orang lain, akhirnya aib-aib mereka dilupakan.[15]Perkataan di atas diperkuat oleh hadits Abu Burdah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَـمْ يَدْخُلِ الْإِيْمَـانُ قَلْبَهُ لَا تَغْتَابُوْا الْـمُسْلِمِيْنَ ، وَلَا تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ ؛ فَإنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ Uعَوْرَتَهُ ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِـيْ بَيْتِهِWahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman tidak masuk ke hatinya, jangan kalian menggunjing kaum Muslimin dan jangan mencari aib-aib mereka ! Karena barangsiapa mencari aib-aib mereka maka Allâh akan mencari-cari aibnya dan barangsiapa aibnya dicari-cari oleh Allâh maka Allâh akan mempermalukannya meskipun ia berada di rumah.[16]Terkait dengan perbuatan maksiat, manusia terbagi dalam dua kelompok Pertama, orang baik yang kebaikan dan ketaatannya sudah diketahui orang banyak. Dia tidak dikenal sebagai pelaku maksiat. Orang seperti ini, jika melakukan kesalahan atau khilaf, maka kekeliruannya tidak boleh dibongkar dan tidak boleh diperbincangkan karena itu termasuk ghibah menggunjing yang diharamkan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [An-Nûr/2419]Maksud ayat ini ialah menyebarkan perbuatan keji orang mukmin yang menyembunyikan kesalahannya atau menyebarkan berita keji yang dituduhkan kepada kaum Muslimin padahal mereka tidak melakukannya sama sekali, seperti kisah dusta yang menimpa Aisyah Radhiyallahu anha .Sebagai orang-orang shalih mengingatkan para pelaku amar ma’ruf nahi mungkar agar merahasiakan para pelaku maksiat. Begitu juga apabila ada yang datang hendak bertaubat, menyesal dan mengaku telah berbuat maksiat berat namun ia tidak bisa menjelaskannya dengan rinci, maka orang seperti ini, tidak perlu diminta memberi penjelasan secara rinci dan dia diminta menutup aib dirinya, seperti yang diperintahkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada Ma’iz dan wanita al-Ghamidiah yang telah mengaku berzina. Dan sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak minta penjelasan secara rinci kepada orang yang mengatakan, “Aku telah berbuat maksiat maka jatuhkan hukuman kepadaku.”Anjuran menutup aib seorang Muslim yang berbuat kesalahan tidak berarti membiarkan kesalahannya. Bagi yang mengetahuinya tetap memiliki kewajiban untuk mengingkari kesalahan tersebut dan wajib untuk menutup karena itu, setiap Muslim dan Muslimah wajib menutup dirinya apabila dia salah, segera bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak menceritakannya kepada orang orang yang sudah dikenal sebagai pelaku maksiat dan dia melakukannya terang-terangan, tidak perduli dengan perbuatan maksiatnya dan komentar miring masyarakat terhadap dirinya. Orang seperti ini, tidak apa dibuka aibnya, seperti yang ditegaskan oleh al-Hasan al-Bashri t dan yang lainnya. Bahkan orang seperti ini harus diselidiki keadaannya untuk dijatuhi hudûd hukuman had. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا ، فَإنِ اعْتَرَفَتْ ؛ فَارْجُمْهَـاHai Unais! Pergilah ke istri fulan ini. Jika ia mengaku berzina, maka rajamlah ia ! [17]Orang seperti itu tidak boleh dibela jika tertangkap kendati beritanya belum sampai ke penguasa Ia harus dibiarkan hingga mendapatkan hukuman agar berhenti dari kejahatannya dan membuat jera yang Mâlik rahimahullah berkata, “Orang yang tidak dikenal suka menyakiti orang lain lalu menyakiti karena kesalahan maka orang seperti ini tidak apa-apa dibela selagi informasinya belum terdengar penguasa. Sedangkan yang terkenal suka berbuat jahat atau kerusakan, maka aku tidak senang kalau ia dibela siapa pun. Orang ini harus dibiarkan hingga hukuman dijatuhkan kepadanya.” Perkatan ini dikisahkan oleh Ibnul Mundzir dan yang juga pelaku bid’ah yang terus menerus dalam perbuatan bid’ahnya dan mengajak orang kepada bid’ahnya maka kita boleh menjelaskan kepada umat Islam tentang orang itu. Bahkan wajib bagi penguasa dan Ulama untuk menjelaskan kesalahannya dan bid’ahnya agar umat tidak tersesat dan hal ini sebagai penjagaan terhadap agama Sabda Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam, “Allah menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.“Dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma disebutkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda …وَمَنْ كَانَ فِـيْ حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللَّـهُ فِـيْ حَاجَتِهِ“…Dan barangsiapa menolong kebutuhan saudaranya, maka Allâh senantiasa menolong kebutuhannya.”Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ini menganjurkan agar umat Islam saling menolong dalam kebaikan dan membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan bantuan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allâh, sungguh, Allâh sangat berat siksa-Nya.” [al-Mâidah/52]Tolong menolong telah dilaksanakan dalam kehidupan para salafush shalih. Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu sering mendatangi para janda dan mengambilkan air untuk mereka pada malam hari. Pada suatu malam, Umar bin al-Khaththab dilihat oleh Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah seorang wanita kemudian Thalhah Radhiyallahu anhu masuk ke rumah wanita itu pada siang harinya, ternyata wanita itu wanita tua, buta, dan lumpuh. Thalhah Radhiyallahu anhu bertanya, “Apa yang diperbuat laki-laki tadi malam terhadapmu?” Wanita itu menjawab, “Sudah lama orang itu datang kepadaku dengan membawa sesuatu yang bermanfaat bagiku dan mengeluarkanku dari kesulitan.” Thalhah Radhiyallahu anhu berkata, “Semoga ibumu selamat –kalimat nada heran-, hai Thalhah, kenapa engkau menyelidiki aurat-aurat Umar ?”[18]. Maksudnya, kenapa aku tidak mengikuti jejak Umar Radhiyallahu anhu dalam kebaikan. Wallaahu A’ rahimahullah berkata, “Aku pernah menemani Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma diperjalanan untuk melayaninya, namun justru ia yang melayaniku.”[19]Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Kami bersama Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam di perjalanan. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Di hari yang panas kami berhenti di suatu tempat. Orang yang paling terlindung dari panas adalah pemilik pakaian dan ada di antara kami ada yang berlindung diri dari terik matahari dengan tangannya. Orang-orang yang berpuasa pun jatuh, sedang orang-orang yang tidak berpuasa tetap berdiri. Mereka memasang kemah dan memberi minum kepada para pengendara kemudian Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari ini, orang-orang yang tidak berpuasa pergi dengan membawa pahala.”[20]6. Sabda Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya jalan ke surga.”Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya berupa keterangan dan petunjuk. Jadi, ilmu yang dipuji dan disanjung adalah ilmu wahyu, yaitu ilmu yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla .[21] Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَـيْرًا يُفَقِـّهْهُ فِـي الدِّيْنِ، وَإِنَّـمَـا أَنَا قَاسِمٌ وَاللهُ يُعْطِي، وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الْأُمَّةُ قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللهِ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِـيَ أَمْرُ اللهِBarangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allâh, Dia akan menjadikannya faham tentang agama. Sesung-guhnya aku hanyalah yang membagikan dan Allâh-lah yang memberi. Dan ummat ini akan senantiasa tegak di atas perintah Allah, mereka tidak bisa dicelakai oleh orang-orang yang menyelisihi mereka hingga datangnya keputusan Allâh hari Kiamat.[22]Ilmu ada yang bermanfaat dan ada yang tidak bermanfaat. Yang bermanfaat seperti yang dijelaskan oleh para UlamaSyaikhul Islam Ibnu Taimiyyah wafat th. 728 H rahimahullah mengatakan, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam . Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam , dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian dan ilmu perdagangan.”[23]Imam Ibnu Rajab wafat th. 795 H rahimahullaht mengatakan, “Ilmu yang bermanfaat membimbing kepada dua hal. Pertama, mengenal Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan segala yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang mulia, dan perbuatan-perbuatan yang agung. Ilmu ini menyebabkan adanya pengagungan, rasa takut, cinta, harap dan tawakkal kepada Allâh serta ridha terhadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan. Kedua, mengetahui segala yang diridhai dan dicintai Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya berupa keyakinan, perbuatan fisik dan bathin serta ucapan. Ilmu ini menuntut orang yang mengetahuinya agar bergegas melakukan apa yang dicintai dan diridhai Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu menghasilkan dua hal ini bagi pemiliknya, maka inilah ilmu yang bermanfaat. Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap di dalam hati, maka sungguh, hati itu akan merasa khusyu’, takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan Allâh Azza wa Jalla , jiwa merasa cukup dan puas dengan sesuatu yang halal meski sedikit dan merasa kenyang dengannya. Ini menjadikannya qana’ah dan zuhud terhadap dunia.”[24]Ibnu Rajab wafat th. 795 H rahimahullah juga berkata, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir al-Qur-ân, penjelasan makna hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tâbi’în, Tâbi’ut Tâbi’în dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka…”[25]Imam al-Auza’i wafat th. 157 H rahimahullah berkata, “Ilmu itu apa yang dibawa dari para Shahabat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam , adapun yang datang dari selain mereka bukan ilmu.”[26]Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam I’lâmul Muwaqqi’în 2/149 mengatakan, “Sebagian ahli ilmu mengatakan, Ilmu adalah firman Allâh, sabda Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam dan perkataan para Shahabat. Semuanya tidak bertentangan…’”Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i wafat th. 204 H rahimahullah mengatakan Seluruh ilmu selain al-Qur-ân hanyalah menyibukkan, kecuali ilmu hadits dan fiqih dalam rangka mendalami ilmu agama. Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya Qaalaa, haddatsanaa telah menyampaikan hadits kepada kami’. Adapun selain itu hanyalah waswas bisikan syaitan.[27]Sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam , “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allâh mudahkan baginya jalan ke surga.”Dalam hadits ini terdapat janji Allâh Azza wa Jalla bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i.“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna. Pertama, menempuh jalan dengan makna fisik, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama. Kedua, menempuh jalan metode yang bisa mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar sungguh-sungguh, membaca, menela’ah kitab-kitab para ulama, menulis, dan berusaha untuk memahami apa-apa yang dipelajari.“Allâh akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna. Pertama, Allâh Azza wa Jalla akan memudahkan masuk surga bagi orang yang menuntut ilmu dengan tujuan mencari wajah Allâh, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya. Kedua, Allâh akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari kiamat ketika melewati “shirâth” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam.[28]Ini seperti firman Allâh Azza wa Jalla , yang maknanya, “Dan sungguh, telah Kami mudahkan al-Qur-ân untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran ?” [al-Qamar/5417]Salah seorang ulama Salaf berkata, “Maksud ayat di atas, Adakah penuntut ilmu sehingga ia akan dibantu dalam mencarinya?” Bisa jadi yang dimaksud sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di atas ialah Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberi kemudahan kepada penuntut ilmu jika ia menuntutnya dengan niat mendapatkan wajah Allâh, mengambil manfaat darinya, dan mengamalkan konsekuensinya. Jadi, ilmu menjadi penyebab ia mendapatkan petunjuk dan masuk Allâh Azza wa Jalla memberi kemudahan kepada penuntut ilmu untuk menguasai ilmu-ilmu lain yang bermanfaat dan bisa mengantarkannya ke surga. Ada yang mengatakan, “Barangsiapa mengamalkan ilmunya, maka Allâh memberinya ilmu yang belum ia ketahui.” Ada juga yang mengatakan, “Pahala kebaikan ialah kebaikan sesudahnya.“Allâh Azza wa Jalla berfirman وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى “Dan Allâh akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk…” [Maryam/1976]Diantara pengertian sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,”Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allâh mudahkan baginya jalan ke surga.” ialah Allâh Azza wa Jalla mempermudahnya melewati jalan jalan dalam makna hakikinya ke surga pada hari Kiamat, seperti melewati shirâth serta berbagai kesulitan sebelum dan sesudah sirâth. Itu semua dimudahkan bagi penuntut ilmu. Karena ilmu bisa membimbing seseorang mengenal Allâh Azza wa Jalla lewat jalur terdekat. Jadi, barangsiapa menempuh jalan ilmu dan tidak berpaling, ia akan bisa sampai kepada Allâh dan surga-Nya melalui jalur terdekat dan mudah. Karenanya, semua jalan ke surga di dunia dan akhirat menjadi mudah bagi penuntut ilmu. Tidak ada jalan untuk mengenal Allâh, mencapai keridhaan-Nya, sukses dengan mendapatkan kedekatan dengan-Nya di dunia dan akhirat kecuali dengan ilmu yang bermanfaat yang dibawa oleh para rasul-Nya dan diturunkan dalam kitab-Nya. Sehingga kitab itu menjadi panduan baginya yang bisa membimbingnya dalam gelapnya kebodohan, syubhat dan keraguan. Oleh karena itu Allâh Azza wa Jalla menamakan kitab-Nya dengan an-nûr cahaya.Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allâh dan kitab yang menjelaskan. Dengan kitab itulah Allâh memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan kitab itu pula Allâh mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjuk ke jalan yang lurus.” [al-Mâidah/515-16]Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengumpamakan para pengemban ilmu para Ulama seperti bintang-bintang di langit yang dijadikan sebagai petunjuk dalam kegelapan. Jika bintang-bintang itu hilang dan sirna, maka alam semesta akan mengalami kehancuran. Jika ilmu syar’i tetap ada di tengah manusia, maka manusia senantiasa berada di atas petunjuk. Dan ilmu itu tetap ada selama para Ulama masih ada. Jika para Ulama dan orang-orang yang mengamalkannya sudah tidak ada lagi, maka manusia akan terjatuh dalam kesesatan. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Sesungguhnya Allâh Ta’ala tidak mencabut ilmu dari para hamba sekaligus, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, apabila sudah tidak ada lagi seorang yang alim, manusia akan mengangkat para pemimpin yang bodoh, mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan orang lain.”[29]Ubâdah Radhiyallahu anhu pernah memberitahukan bahwa ilmu yang pertama kali diangkat dari manusia adalah kekhusu’an. Ubadah bin ash-Shâmit Radhiyallahu anhu mengatakan seperti itu karena ilmu itu ada dua jenis Pertama, ilmu yang buahnya ada di hati manusia. Ilmu ini adalah ilmu tentang Allâh, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya yang menjadikan orang takut kepada Allâh, segan kepada-Nya, mengagungkan-Nya, tunduk kepada-Nya, mencintai-Nya, berharap kepada-Nya, berdo’a kepada-Nya, bertawakkal kepada-Nya, dan lain sebagainya. Itulah ilmu yang ilmu di lidah. Itulah hujjah Allâh bagimu atau atasmu. Jadi, ilmu yang pertama kali diangkat ialah ilmu batin yang menyatu dengan hati dan memperbaikinya. Sedang yang tersisa ialah ilmu di lidah manusia; para ulama atau selain mereka, menyia-nyiakannya dan tidak mengamalkannya. Kemudian ilmu hilang dengan kematian para ulama, akibatnya, al-Qur-ân hanya ada di mushhaf tanpa ada yang mengerti makna-maknanya, batasan-batasannya dan hukum-hukumnya. Hal tersebut berkembang terus hingga akhir zaman kemudian tidak ada yang tersisa di mushaf dan hati. Setelah itu, kiamat terjadi.[30]7. Sabda Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam , yang maknanya, “Tidaklah suatu kaum duduk di salah satu rumah Allâh masjid; mereka membaca Kitabullah dan mengkajinya sesama mereka, melainkan ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, para malaikat mengelilingi mereka, dan Allâh menyebut mereka di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya.”Ini menunjukkan duduk di masjid-masjid untuk membaca al-Qur-ân dan mempelajarinya disunnahkan. Jika pengertian hadits diatas dibawa ke makna mempelajari dan mengajarkan al-Qur’ân, maka semua Ulama’ sepakat bahwa itu disunnahkan. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُSebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’ân.[31]Abu Abdurrahman as-Sulami rahimahullah berkata, “Inilah yang membuatku duduk di tempat dudukku ini.” Beliau mengajarkan al-Qur’ân sejak zaman Utsman bin Affân hingga zaman al-Hajjâj bin Yûsuf.[32]Jika sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam ini dipahami dengan makna yang lebih umum maka ini mencakup berkumpul di masjid-masjid untuk mempelajari al-Qur’ân secara mutlak, karena terkadang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyuruh seseorang membacakan al-Qur’ân agar beliau dapat mendengarkan bacaannya, sebagaimana beliau Shallallahu alaihi wa sallam pernah menyuruh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu agar membacakan al-Qur’ân untuk beliau Shallallahu alaihi wa sallam .Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu pernah menyuruh seseorang membacakan al-Qur’ân untuknya dan untuk rekan-rekannya. Mereka semua mendengarkannya. Terkadang Umar Radhiyallahu anhu menyuruh Abu Musa Radhiyallahu anhu dan terkadang menyuruh Uqbah bin Amir Radhiyallahu anhu .[33]Sebagian besar Ulama berpendapat bahwa berkumpul untuk mempelajari al-Qur’ân itu disunnahkan. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang menunjukkan berkumpul untuk berdzikir itu sunnah, sementara membaca dan mempelajari al-Qur’ân adalah dzikir dari Mu’âwiyah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam keluar ke salah satu halaqah Shahabat-Shahabat beliau kemudian bersabda, “Apa yang membuat kalian duduk?” Mereka menjawab, “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dan memuji-Nya karena Dia telah memberi kami petunjuk kepada Islam dan menganugerahkan nikmat kepada kami.” Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allâh, apakah kalian duduk karena itu semua ?” Mereka menjawab, “Demi Allâh, kami tidak duduk kecuali karena tujuan tersebut.” Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,أَمَا إِنِّـيْ لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ ، وَلَكِنَّهُ أَتَانِـيْ جِبْرِيْلُ فَأَخْبَرَنِـيْ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِيْ بِكُمُ الْـمَلَائِكَةَSesungguhnya aku tidak meminta kalian bersumpah karena menuduh kalian, karena Jibril telah datang kepadaku kemudian memberitahuku bahwa Allâh Azza wa Jalla membanggakan kalian kepada para malaikat.[34]Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa mereka berdzikir masing-masing, tidak berjama’ah dan tidak juga dengan suara yang keras. Jadi, hadits-hadits di atas dan yang semakna dengannya tidak menunjukkan adanya dzikir berjama’ah. Karena dzikir jama’i tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para Shahabatnya g . Bahkan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu menegur dengan keras orang yang berdzikir jama’i sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang shahih.[35]Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa pahala orang yang duduk di salah satu rumah Allâh masjid guna mempelajari al-Qur’ân ada empat [36]Ketenangan turun kepada mereka. Diriwayatkan dari al-Barâ’ bin Azib Radhiyallahu anhu ia berkata, “Ada seseorang membaca surat al-Kahfi dan di sampingnya terdapat kuda kemudian ia ditutupi awan. Awan itu berputar-putar dan mendekat hingga kuda orang itu lari dari awan tersebut. Keesokan harinya, orang tersebut menghadap Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda تِلْكَ السَّكِيْنَةُ تَنَزَّلَتْ لِلْقُرْآنِItulah ketenangan yang turun bagi al-Qur’ân.[37]Kejadian serupa juga dialami oleh Usaid bin Khudair Radhiyallahu anhu[38]Diliputi rahmat. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “… Sesungguhnya rahmat Allâh dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” [al-A’râf/7 56]Para malaikat mengelilingi Azza wa Jalla menyebut mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman,أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِـيْ ، وَأَنَا مَعَهُ حِيْنَ يَذْكُرُنِـيْ ، إِنْ ذَكَرَنِـيْ فِيْ نَفْسِهِ ؛ ذَكَرْتُهُ فِـيْ نَفْسِيْ ، وَإِنْ ذَكَرَنِـيْ فِـيْ مَلَإٍ ؛ ذَكَرْتُهُ فِـيْ مَلَإٍ خَيْرٌ مِنْهُمْAku sesuai dugaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku. Jika ia ingat dzikir kepada-Ku sendirian maka Aku ingat kepadanya sendirian dan jika ia ingat dzikir kepada-Ku di kelompok maka Aku ingat kepadanya di kelompok yang lebih baik daripada mereka.[39]Bentuk ingatnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya ialah Allâh memujinya dihadapan para malaikat, Ta’ala berfirman, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Berdzikirlah kalian kepada Allâh sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dia-lah yang bershalawat kepada kalian dan malaikat-Nya supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya. Dan Allah itu Maha Penyayang terhadap kaum Mukminin” [al-Ahzâb/3341-43]Bentuk shalawat Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-Nya ialah Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyanjungnya dihadapan para malaikat-Nya dan memujinya dengan ingat kepadanya. Itulah yang dikatakan oleh Abul Aliyah dan disebutkan oleh imam Bukhâri dalam kitab Shahîhnya.[40] 8. Sabda Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam yang artinya, “Barangsiapa yang diperlambat oleh amalnya dalam meraih derajat yang tinggi-red, maka garis keturunannya tidak bisa mempercepatnya“Maksudnya, amal perbuatanlah yang bisa mengantarkan seseorang meraih derajat tinggi di akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat karena apa yang dikerjakannya.” [al-An’âm/6132]Jadi, barangsiapa amalnya lamban untuk mencapai tingkatan tinggi di sisi Allâh, maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya untuk meraih derajat tersebut. Karena Allâh Azza wa Jalla menentukan pahala berdasarkan amalan dan bukan nasab. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” [al-Mukminûn/23101]Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin bergegas meraih ampunan dan rahmat Allâh dengan amalannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabb-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allâh mencintai orang yang berbuat kebaikan.” [Ali Imrân/3133-134]Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ketika ayat ke-214 surat Asy-Syu’ara diturunkan, Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اشْتَرُوْا أَنْفُسَكُمْ لاَ أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا بَنِيْ عَبْدِ مَنَافٍ لاَ أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِي عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُوْلِ اللهِ لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍr سَلِيْنِى مَاشِئْتِ مِنْ مَالِيْ لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًاHai kaum Quraisy, belilah diri-diri kalian, sebab aku tidak bisa memberi manfaat sedikit pun kepada kalian di hadapan Allâh. Wahai Bani Abdu Manaf, aku tidak bisa memberi manfaat sedikit pun kepada kalian di hadapan Allâh. Wahai Abbâs bin Abdul Muththalib, aku tidak dapat memberimu manfaat apa pun di hadapan Allâh. Wahai Shafiyyah bibi Rasûlullâh, aku tidak dapat memberimu manfaat apa pun di hadapan Allâh. Wahai Fathimah anak Muhammad, mintalah hartaku sesukamu, aku tidak dapat memberimu manfaat apa pun bagimu di hadapan Allâh.[41]Itu semua diperkuat oleh sabda Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam,إِنَّ آلَ أَبِيْ فُلَانٍ لَيْسُوْا بِأَوْلِيَائِيْ ، إِنَّمَـا وَلِـيِّيَ اللهُ وَصَالِحُ keluarga ayahku bukan waliku-waliku. Wali-waliku ialah Allâh dan orang-orang Mukmin yang shalih.[42]Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa hubungan kewalian kedekatan tidak bisa didapatkan dengan nasab, namun diperoleh dengan iman dan amal shalih. Jadi, barangsiapa iman dan amal shalihnya paling sempurna, maka kewaliannya dengan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sangat agung kendati secara nasab kekeluargaan jauh. Salah seorang penyair berkata,لَعَمْرُكَ مَـــــا الإِنْسَانُ إِلَّا بِدِيْـنِهِ فَلَا تَتْرُكِ التَّقْوَى اِتِّكَالًا عَلَى النَّسَبْ لَقَدْ رَفَعَ الْإِسْلَامُ سَلْمَـانَ فَارِسٍ وَقَدْ وَضَعَ الشِّرْكُ الشَّقِيَّ أَبَا لَـهَبْAku bersumpah kepadamu bahwa manusia itu sejatinya dengan agamnya. Jangan kautinggalkan takwa karena bersandar pada Islam telah meninggikan Salman al-Farisi dan syirik merendahkan si celaka Abu Lahab.[43]FAWAA-ID HADITSKeutamaan membantu kebutuhan dan kesulitan kaum dan melapangkan kesusahan seorang Muslim merupakan cara mendekatkan diri kepada Allâh dan cara meraih akan adanya hari hari Kiamat ada kesulitan yang sangat memudahkan urusan orang yang sedang kesulitan utang.Balasan itu sesuai dengan jenis untuk menutup aib seorang sesama Muslim dalam kebaikan adalah sebab yang mengundang pertolongan AllâhWajib menuntut ilmu syar’ berjalan atau safar untuk menuntut ilmu syar’ Ilmu syar’i adalah jalan menuju yang paling utama adalah mempelajari Kitâbullâh al-Qur’ân dengan membaca, memahami dan mengamalkannya, kemudian mempelajari sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam . Keduanya wajib dipahami menurut pemahaman Salafush al-Qur’ân dan mempelajarinya akan mendatangkan ketenangan, rahmat, dikelilingi malaikat dan disebut-sebut oleh Allâh di hadapan paar adanya berkumpul di rumah Allâh masjid untuk mempelajari abadi diraih dengan amal shalih, bukan dengan nasab atau garis di sisi Allâh bisa digapai dengan takwa dan amal shalih, bukan dengan nasab dan Karim dan Imam Abu Ibni Ibni Hibban at-Ta’liiqaatul Hisaan.Hilyatul Auliyaa’, karya Abu Nu’aim Bayaanil Ilmi wa Ilmi Salaf alal Baari, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al- al-Ahaadiits ash-Shahiihah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin wa Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Arba’iin an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al- Uluum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Ahwadzi, karya ’Abdurrahman bin ’Abdurrahim ’Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-’ Ilmu Jalan Menuju Surga, karya Yazid bin ’Abdul Qadir al-Fataawaa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1430H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Lihat Fathul Bâri 5/97, Kitâbul Mazhâlim. [2] Shahih HR. Bukhâri no. 2442 dan 6951, Muslim no. 2580 dan Ahmad 2/91, Abu Dâwud no. 4893, at-Tirmidzi no. 1426, dan Ibnu Hibbân no. 533 dari Shahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma . [3] Shahih HR. Bukhâri no. 1284, Muslim no. 923, Abu Dâwud no. 3125, dan lainnya dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu . [4] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam II/286. [5] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam 2/287, dengan ringkas. [6] Ada yang menafsirkan penglihatan Allâh meliputi mereka, ada juga yang mengatakan penglihatan meliputi mereka karena di tanah lapang yang datar semua dapat terlihat. Adapun penglihatan Allah sudah pasti meliputi mereka dalam semua keadaan di dunia maupun di akhirat, di tanah lapang maupun tempat lainnya. Wallaahu A’lam. [Lihat Fat-hul Baari, VIII/396]. [7] Shahih HR. Bukhâri no. 3340, 3361, dan 4712, Muslim no. 194, Ahmad 2/435-436, dan lainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. [8] Shahih HR. Bukhâri no. 6527, Muslim no. 2859, dan an-Nasa-i 4/114-115. [9] Shahih HR. Bukhâri no. 6531 dan Muslim no. 2862. [10] Shahih HR. al-Bukhâri no. 6532 dan Muslim no. 2863. [11] Shahih HR. Muslim no. 2864, Ahmad 6/3, dan at-Tirmidzi no. 2421 dari al-Miqdad bin al-Aswad Radhiyallahu anhu . Lafazh ini milik at-Tirmidzi. Lihat, Tuhfatul Ahwâdzi 7/104-106, no. 2536 dan Silsilah al-Ahâdîtsish Shahîhah no. 1382. [12] Shahih HR. al-Bukhâri no. 2078, 3480, Muslim no. 1562, an-Nasâi 7/318, dan Ibnu Hibbân no. 5041, 5042 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . [13] Shahih HR. Muslim no. 1563. [14] Shahih HR. Muslim no. 3006. [15] Jâmi’ul Ulûm wal Hikam 2/291. [16] Shahih HR. Abu Dâwud no. 4880 dan Ahmad 4/420-421, 424. [17] Shahih HR. Al-Bukhâri no. 2314 dan Muslim no. 1697 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu [18] Hilyatul Auliyâ 1/84, no. 113. [19] Hilyatul Auliyâ 3/326, no. 4131. [20] Shahih HR. al-Bukhâri no. 2890, Muslim no. 1119, an-Nasâ-i 4/182, dan Ibnu Hibbân no. 3551-at-Ta’lâqâtul Hisân. Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam II/293-296 dengan diringkas dan sedikit tambahan. [21] Lihat Kitâbul Ilmi hlm. 13, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, cet. Daar Tsurayya lin Nasyr, th. 1420 H. [22] Shahih Diriwayatkan oleh Ahmad IV/92, 95, 96, al-Bukhâri no. 71, 3116, 7312, dan Muslim no. 1037, lafazh ini milik al-Bukhâri dari Shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma. Diriwayatkan juga oleh Ahmad I/306 dari Ibnu Abbas c dan II/234 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . [23] Majmû’ al-Fatâwâ 6/388, 13/136 dan Madârijus Sâlikîn 2/488. [24] Fadhlu Ilmi Salaf alal Khalaf hlm. 47, tahqiq Syaikh Ali Hasan al-Halaby. [25] Fadhlu Ilmi Salaf alal Khalaf hlm. 41, tahqiq Syaikh Ali Hasan al-Halaby. [26] Jâmi’ Bayânil Ilmi wa Fadhlih I/769, no. 1421 dan Fadhlu Ilmi Salaf alal Khalaf hlm. 42. [27] Dîwân Imam asy-Syafi’i hlm. 388, no. 206, dikumpulkan dan disyarah oleh Muhammad Abdurrahim, cet. Daarul Fikr, th. 1415 H. [28] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam 2/297 dan Qawâ’id wa Fawâ-id minal Arba’iin hlm. 316-317. [29] Shahih HR. Al-Bukhâri no. 100 dan Muslim no. 2673. Ini lafazh Bukhâri, dari Shahabat Abdullah bin Amr bin al-Ash Radhiyallahu anhuma. [30] Diringkas dari Jâmi’ul Ulûm wal Hikam 2/296-300. [31] Shahih HR. Al-Bukhâri no. 5027, 5028, Ahmad I/58, Abu Dawud no. 1452, at-Tirmidzi no. 2907, Ibnu Mâjah no. 212, dan Ibnu Hibbân no. 118-at-Ta’lîqâtul Hisân dari Shahabat Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu . [32] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam 2/300. [33] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam 2/301. [34] Shahih HR. Muslim no. 2701, Ahmad IV/92, at-Tirmidzi no. 3379, an-Nasa-i VIII/249, dan Ibnu Hibban no. 810-at-Ta’lîqâtul Hisân. [35] Shahih HR. Ad-Darimi I/68-69. Lihat Silsilatul Ahâdîtsis Shahîhah 5/11-12, no. 2005. Untuk lebih detailnya, silahkan lihat buku penulis Mulia dengan Manhaj Salaf hlm. 133-134, cet. Ke-3 th. 2009. [36] Lihat Jâmi’ul Ulûm wal Hikam 2/304-307 dengan diringkas. [37] Shahih HR. Al-Bukhâri no. 3614 dan Muslim no. 795. [38] Shahih HR. Al-Bukhâri no. 5018 secara mu’allaq dan Muslim no. 796. [39] Shahih HR. Al-Bukhâri no. 7405, Muslim no. 2675, Ahmad II/251, at-Tirmidzi no. 3603, Ibnu Mâjah no. 3822, dan Ibnu Hibbân no. 808, 809-at-Ta’lîqâtul Hisân. [40] Lihat Fathul Bâri 8/532 dan Jâmi’ul Ulûm wal Hikam 2/300-307 [41] Shahih HR. Al-Bukhâri no. 2753, 4771 dan Muslim no. 206, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu . [42] Shahih HR. Al-Bukhâri no. 5990 dan Muslim no. 215 dari Amr bin al-Ash Radhiyallahu anhu . [43] Jâmi’ul Ulûm wal Hikam 2/308-310. Home /A8. Qur'an Hadits5 Syarah.../Membantu Kesulitan Sesama Muslim...
allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya